Warga tepi Kali Krukut, Jakarta Pusat, tak lagi membuang kotoran di sungai. Mereka mengolah tinja menjadi bahan bakar untuk memasak. Kali jadi bersih, energi jadi murah.
Seperti permukiman padat dan kumuh lainnya di Jakarta, kondisi lingkungan Petojo Binatu, Jakarta Pusat, tak jauh berbeda. Petakan rumah tampak berjejalan di tepi gang-gang sempit. Got saluran pembuangan air nyaris tak tampak di sini. Aliran air Kali Krukut berwarna hikam pekat yang membelah daerah ini menambah kesan kumuh. Sungai ini sempat menjadi muara pembuangan semua limbah rumah tangga warga Petojo, termasuk limbah mandi dan buang hajat. Maklum saja salah satu dari empat tempat mandi, cuci, dan kakus di wilayah ini berada di sisi Kali Krukut.
Memasuki wilayah ini kita akan disuguhi pemandangan gunungan sampah. Di mulut gang selebar 3 meter itu deretan gerobak kewalahan menampung sampah rumah tangga dari dua rukun warga. Bau khas menyergap hidung, ketika melintas Lokasi Pembuangan Sampah Sementara (LPS) ini. Kesan kumuh dan kotor semakin melekat. Namun tiga bulan terakhir ini sebuah bangunan mentereng mampu mengubah kesan kumuh kampung ini. Di ujung gang, mata kita akan tertumbuk pada bangunan Mandi Cuci Kakus Plus Plus (MCK++).
Bangunan MCK++ yang diresmikan pada awal September lalu tampak mencolok. Bangunan yang didominasi keramik warna biru itu berdiri mentereng di samping Sungai Krukut. Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 200 m2 ini jauh berbeda dari bangunan MCK sebelumnya yang hanya beralaskan tegel dan tembok yang sudah berlumut di sana-sini. Belum lagi sumber air yang harus dipompa dulu. Bau menyengat pun selalu menjadi suguhan rutin pengguna MCK. Parahnya lagi Sungai Krukut menjadi muara dari semua pembuangan limbah, karena MCK yang lama tidak memiliki septic tank (kolam penampungan tinja).
"Yang dulu kan bisa dibilang standar kampung. Kalau yang ini lumayan bisa dilihat dari kemewahannya sendiri. Bisa dilihat dari segi materialnya sendiri kan bagus jugalah. Lebih bersih dan ramah lingkungan, tidak mengganggu ekosistem di sini," ujar Sandy, seorang warga. Tak heran jika pemuda berusia 20 tahun ini menganggap MCK++ sebuah kemewahan. MCK++ dengan fasilitas yang kelewat memadai ini kini menjadi primadona bagi warga di empat RT.
MCK ini terdiri atas 6 toilet dewasa, 4 kamar mandi, 1 kamar mandi ibu dan anak, 1 tempat mencuci seluas 2x2 meter dengan 3 keran. Nyaris tidak terjadi antrean, kecuali pada jam-jam tertentu saja seperti yang diungkapkan Inem, sorang ibu yang tinggal tak jauh dari MCK++. "Ya lumayan kalo pagi lama antrenya. Soalnya dari mana-mana kan banyak kemari. Antre ya kira-kira hampir seperempat jam, kadang-kadang kan suka ada yang lama. Pagi mau salat subuh sampai jam enam gitu, itu antre. Ama sore jam setengah enam, itu kan banyak yang mandi dan ngambil air salat," kata perempuan berusia 40 tahun itu.
Bukan tanpa alasan MCK ini diberi embel-embel "Plus Plus". MCK ini memiliki banyak fasilitas yang tak ada pada MCK mana pun di Jakarta. Seperti dikatakan Atun, ibu rumah tangga yang setiap hari mencuci, mandi, dan buang hajat di MCK++ ini. "Lebih baik dari yang dulu. Udah gitu sekarang kita enak malah, bisa nyuci langsung di situ, airnya bersih. Di sini kan bedanya ada biogasnya sekarang, kalau dulu kan nggak mengandung biogas. Fasilitasnya juga lain. Kalau dulu nggak ada khusus tempat mandi anak, kalau sekarang kan ada. Kalau dulu MCK ama kamar mandi doang. Sekarang MCK sama plus buat anak ada shower-nya juga, plus ada biogas," kata Atun.
Menurut Ketua RW 08 Irwansyah, MCK++ ini menggunakan teknologi Dewats (Decentralized Wastewater Treatment System). Seluruh limbah dari kakus, kamar mandi, dan tempat mencuci diolah menggunakan biodigester (biogas) dan baffled reactor. Teknologi ini diadopsi dari sebuah kontraktor lokal nonpemerintah Bina Ekonomi Sosial Terpadu yang sudah berpengalaman membangun proyek serupa di Tanggerang. Baffled reactor seluas 9x4 meter itu dibangun bersekat di bawah bangunan MCK. "Jadi, untuk sisa buangan air cucian, dan pengguna MCK, air sabun dimasukin ke dalam, ada 9 main hall, di-treatmen di situ. Buangannya tetep di kali, tetapi sudah tidak mengandung bakteri ecoli dan tidak mencemari air kali," ujar pria bertubuh besar ini.
Tinja diolah dengan menggunakan teknologi biodigester atau lebih dikenal dengan biogas. "Biogas ini mengolah kotoran yang ditampung dalam sebuah wadah berbentuk seperti kubah diameternya 4,5 meter, jadi nggak rembes ke tanah. Kan kotoran kita ini mengandung gas. Gas itu diolah sedemikian rupa di sini, menghasilkan gas metan. Nah, gas metan itu disalurkan melalui pipa ke ruang posyandu, ke dapurnya. Itu untuk bahan bakar memasak," ujar Irwansyah, sarjana teknologi informasi, bersemangat. Di depan MCK++ ini ada sebuah pipa paralon kecil untuk mengalirkan gas.
Memang teknologi biogas dengan sistem an aerob ini masih terdengar aneh dan asing bagi sebagian besar warga. Menurut Irwansyah, pada awalnya ada pro dan kontra. Maklum saja bagi orang awan tidak masuk akal memasak menggunakan bahan bakar dari kotoran manusia.
"Geli, kan dari kotoran gitu, takutnya ada bau apa gitu," ujar Aca, ibu rumah tangga bertubuh mungil, sambil bergidik. Selain itu Aca juga takut jika dapurnya terbakar karena gas dari tinja itu meledak. Ia sulit membayangkan, bersamaan dengan ledakan itu, selain gas, material apa lagi yang akan berhamburan.
Setelah mendapat penjelasan melalui beberapa kali musyawarah warga, pandangan miring tentang teknologi ini mulai berubah. Seperti dialami Atun. Ibu rumah tangga yang juga kader posyandu itu mengaku sangat tertarik pada teknologi baru ini. "Malah kami kagum kok tinja bisa jadi gas, ajaib. Bagi kami ajaib, dong. Tai bisa jadi bakal masak. Jadi dari kita ke kita lagi," ujarnya sambil terkekeh.
Atun pun semakin yakin setelah beberapa minggu lalu ia mencoba memasak air menggunakan gas dari tinja ini. "Saya dah pernah naro tungku. Cuma karena belum ada penyaringannya jadi belum bisa nyebar apinya. Masak air, mateng. Apinya besar kok, kayak gas yang kita beli. Malah lebih besar ini karena ini kan satu doang gitu," katanya. Ia ingin membuktikan kekhawatiran sebagian warga tak beralasan. "Kan ada orang yang bilang gini, nanti asapnya bisa kuning di wajannya. Tapi setelah kita coba kan enggak, biasa aja, kayak gas-gas biasa. Saya dah jajal gitu, coba bau nggak. Setelah coba, nggak bau apinya," tambahnya. Atun pun berharap ia dan ibu-ibu lain dapat segera menikmati gas itu. "Berharap nanti bikin saluran ke dapur saya, jadi kan nggak beli gas lagi. Lebih irit."
Irwansyah menuturkan, selain agar tidak mencemari tanah, penggunaan teknologi biogas ini juga sebagai energi alternatif. Apalagi sekarang harga bahan bakar dan gas elpiji terus saja merangkak naik. Tak ada salahnya masyarakat mulai melirik energi alternatif yang mudah didapat. Namun sekarang biogas belum dapat dinikmati warga. "Sebetulnya gasnya sudah keluar, tetapi belum memenuhi kapasitas maksimal karena panjang jaraknya. Jadi, harus menunggu," katanya.
Jika tekanan dalam baffled reactor sudah cukup, gas bisa dialirkan melalui selang. Dalam waktu dekat ini gas akan dialirkan ke dapur posyandu yang berada di dalam kompleks MCK++. "Selain itu kita akan membuat pilot project ke beberapa rumah dulu, kalau ini memang berlebih kapasitasnya," tambah Irwansyah. Idealnya gas baru dapat digunakan dan alirannya kontinu setelah enam bulan MCK beroperasi. Rencananya rumah tangga dalam radius 50 meter dari MCK++ dapat segera dialiri gas.
Irwansyah optimistis gas ini bisa menjadi alternaitif bahan bakar memasak bagi warga di wilayahnya yang sebagian besar kurang mampu. "Nanti planing-nya kalau produksinya meningkat dan memang banyak, tidak menutup kemungkinan kita salurkan ke rumah tangga ke RT-RT lain. Kita rencanakan dalam waktu satu tahun ke depan. Kita jadikan pilot project satu RT," katanya.
Irwansyah meyakinkan bahwa teknologi ini sangat aman. "Dengan teknologi itu, sudah diantisipasi kalau biodigester kelebihan secara otomatis gas akan keluar sendiri. Makanya ada air kan kayak kolam kecil itu, nah itu kalau belembung-belembung gitu, itu menandakan uap dari gas keluar tinggi. Makanya di dalam MCK itu kita tekankan jangan merokok. Jadi masyarakat nggak berani ngerokok," katanya.
Selain memiliki fasilitas pengolahan biogas dan baffled reactor, serta Pos Pelayanan Terpadu, MCK ++ ini juga mengolah air tanah menjadi air siap minum. "Air tanah itu disalurkan juga ke tangki, di situ air di-treatment dengan menggunakan air rahmat namanya. Itu ada alat untuk me-mixer, diaduk, terus kita diamkan dulu selama setengah jam, baru bisa dikonsumsi tanpa dimasak. Itu sumbangan dari save water system," kata Irwansyah. Air itu dijual kepada warga dengan harga Rp 2.000 per galon.
Menurut Irwansyah, fasilitas MCK dengan teknologi serba canggih ini dibangun awal April 2007 dengan dana hibah USAID US$ 40.000 atau setara dengan 360 juta rupiah. Selain itu, juga bantuan dari lembaga riset Mercy Corp, Aman Tirta, dan Environmental Services Program (ESP). "Dan kontribusi dari masyarakat. Ada swadaya masyarakat di sini, tidak sekadar kita menerima bantuan gitu. Ada tenaga dari msyarakat yang siap membantu tanpa pamrih, menyediakan tanah dengan status pinjam pakai," ujar ketua RW yang telah menjabat sejak tahun 1997 ini.
Masyarakat menghargai benar berkah yang mereka dapatkan. Mereka berkomitmen penuh untuk menjaga dan merawat bersama MCK++ kebanggaan itu. "Mereka berkomitmen untuk merawat dan mengaturnya dengan baik. Karena mereka bangga, MCK sebesar ini dan semoderen ini harus benar-benar dijaga. Nah komitmen itulah yang jadi kebanggaan saya," ujar Irwansyah.
Rahman, salah seorang penjaga MCK, komitmen itu bisa dilihat dari ketaatan warga mematuhi serentetan peraturan yang dipampang di dinding MCK++. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi setiap pengguna. Kata pemuda 21 tahun ini, warga pun tak lagi membuang sampah bungkus sabun atau sampo sembarangan. Mereka khawatir MCK++ mampet dan rusak.
Menurut Rahman, ketiga penjaga MCK++ selain bertanggung jawab merawat dan membersihkan MCK, mereka juga harus rajin mengecek bak-bak kontrol. Mereka juga diajari jika terjadi tekanan yang kuat dari dalam biodigester itu, untuk mencegah ledakan. "Langsung saja dibuka kerannya, kalau bener-bener (gasnya) sudah penuh. Keluar gasnya kan bau, udah diamkan saja, atau nyalakan apinya. Kalau apinya nyala, gasnya sudah nggak bau lagi," kanya.
Pembangunan dan perawatan MCK++ memang jauh lebih rumit dibandingkan model empat MCK lain di RW 08. Koordinator program air bersih dan sanitasi Jakarta ESP, Nurendah, menjelaskan, mereka memilih sistem biodigester dan baffled reactor karena beberapa pertimbangan. "MCK itu kan penggunanya banyak. Kalau kita membuat septic tank biasa mungkin nanti lahannya besar, dan septic tank itu kan harus dikosongkan mungkin setahun dua kali paling sedikit," katanya.
Sistem ini terbukti ramah lingkungan karena bisa mereduksi hampir 100 persen limbah yang keluar hanya dari satu sistem. Endah berharap pemerintah mengadopsi teknologi ramah lingkungan ini. "Kami ingin sungai-sungai bisa kembali jadi ekosistem yang baik, nggak jadi saluran drainase umum lagi," katanya. (E2)
0 comments:
Post a Comment